Hujan Yang Indah
Jika Anda orang yang menyukai hujan, datanglah
ke kotaku. Di sini dapat Anda saksikan hujan yang indah bak lukisan.
Aku tidak bohong. Di sini hujan turun seperti
gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan
mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari.
Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.
Di sini hujan sering turun dan, uniknya, hampir
selalu hanya berupa gerimis. Sesekali saja terjadi hujan lebat dengan angin
ribut atau geledek membentak-bentak di angkasa.
Apabila hujan turun, aku paling suka duduk
dekat jendela sambil melipat tangan di meja. Kulayangkan pandangan ke luar
sambil menyimak ketukan air tempias ke kaca. Dari jendela tampak dinding-dinding
dan atap bangunan kuno di seberang jalan. Dalam kondisi kering, tembok dan
atapnya tampak kelabu terang, tapi setelah dibasahi hujan, warnanya menggelap
dan terlihat misterius, seakan-akan di dalam gedung itu ada makhluk-makhluk
gaib yang bergentayangan. Pada bagian tertentu meruap juga nuansa merah bata
yang asli, meski tidak mencolok. Bangunan itu ada sebelum aku dilahirkan dan
seingat aku bentuknya tidak pernah diubah oleh pemiliknya.
Selain itu, yang kuintai manakala hujan tengah
mempersembahkan baktinya kepada bumi adalah angkasa kelabu yang menggigil dan
memuncratkan seluruh embun yang menggenangi permukaannya kepada bentang alam
yang telentang pasrah. Pernah aku membayangkan langit sebagai dada perempuan
yang berdegup dengan suasana batin seorang ibu yang prihatin dan bersedih. Dada
yang subur. Dada yang telanjang, tetapi sensualitasnya terselubung oleh uap
samar yang menenangkan. Kemudian dada itu berpeluh. Peluh yang menyembul
melalui pori-pori dan melapisi kulitnya yang halus dengan genangan embun bening
menebal. Ketika angin menepuk dada itu, genangan itu luruh menjadi hujan.
Aku pernah mengungkapkan gambaran tersebut
kepada seorang teman, tetapi dia mencibir seraya berujar, ”Bukankah seharusnya
dada memuncratkan air susu? Mengapa keringat? Lalu di mana keindahannya?
Ada-ada saja kamu ini. Air susu adalah metafora bagi cinta seorang ibu.
Mestinya kamu tahu, sengawur apa pun imajinasi, sepatutnya diperkuat
logika—mungkin 34edalam ketidakmungkinannya.”
”Haruskah begitu?”
Dia tertawa, kemudian dengan gaya merenung yang
dibuat-buat dia bersabda, ”Kamu ini naif sekali. Bergaya penyair, tapi tidak
paham perkara remeh seperti itu.”
”Aku tidak bermaksud bergaya penyair.”
Temanku tersenyum dan kupikir itu senyuman
orang jahat. Agar tidak menambah kesan jahat pada dirinya, aku tidak pernah
lagi mengungkapkan apa pun yang melintas di benakku sebagai apa yang dia
istilahkan ”buah imajinasi”. Anehnya, setelah hijrah ke luar negeri, dia lebih
sering bertanya soal hujan kepadaku lewat telepon, pesan singkat, dan surat
elektronik. Aku hanya menjawab sekenanya. Kemudian dia memprotes.
Protes itu dia lontarkan dalam obrolan via
internet. Saat itu matahari tengah memancarkan cahayanya dengan murah hati.
Akhir pekan yang cerah. Terlalu cerah malah.
”Dulu kamu sering berkomentar tentang hujan.
Kau bilang indahlah, romantislah, begini, begitu. Sekarang kenapa kering
ungkapanmu? Apakah sudah jelek hujan di sana sekarang?”
Uh, sinis sekali.
”Hujannya tetap seperti dulu.”
”Lalu?”
”Aku tidak bisa ceritakan. Kalau kamu mau tahu,
pulanglah dan saksikan sendiri. Tak bisa kamu mencerap keindahan hanya lewat
komentar orang lain.”
”Wah, hebatnya!”
”Salah sendiri, bertanya soal hujan pada saat
matahari bersinar terang.”
”Oh, di sana cerah sekarang?”
”Ya.”
”Di sini beku. Kami dikepung salju seminggu
penuh!”
Lambat laun kami semakin jarang berkomunikasi.
Mungkin dia sibuk. Aku sendiri sibuk, ditambah kehadiran perempuan yang menjadi
ibu bagi putra-putriku. Selanjutnya anak-anak mempersembahkan cucu-cucu untuk
kami. Kawanku yang kadang-kadang menyebalkan itu tidak pernah mudik dan tanpa
kabar lagi.
Kebiasaanku menikmati hujan tidak pernah
berubah, meski tidak sesering dulu. Mungkin intensitas penikmatannya pun tidak
sedalam dulu, entahlah. Sesekali aku masih keluar rumah ketika gerimis mulai
turun, yang menimbulkan kejengkelan anak bungsuku dan menantu yang tinggal
serumah dengan kami. Istriku sendiri tidak banyak cakap. Kukira dia sudah tahu
tidak ada gunanya melarang aku menikmati hujan.
”Kalau Papa sakit bagaimana? Sudah tua masih suka
keluyuran dalam hujan. Ini payung dan jas hujan.”
Kecerewetannya sungguh menjengkelkan.
”Apakah dulu aku pernah melarang kamu dan
kakak-kakakmu berhujan-hujan?” begitulah aku pernah mengomel. Menantuku mundur
dengan bijaksana, tapi putriku pantang menyerah.
”Iya. Malah dulu Papa cerewet sekali.”
”Apa iya?”
”Iya.”
Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut yang
panjang selutut itu.
”Ini payungnya, Pa.”
”Tidak usah.”
Sempat kudengar gerutu putriku ketika aku
membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.”
***
Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun yang
ganjil ini.
Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan
Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air
mulai terbentuk di sudut-sudut kota, bantaran
sungai, bahkan hingga di tengah kota.
Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir. Kini hujan bukan lagi
sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan
air terjun disertai petir dan angin ribut.
Sepanjang hari langit gelap dan mendung selalu
mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi
berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk
mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali.
Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan
iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku.
Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku nyaris
copot. Lantas atap berderak diterpa angin